How To Teach Mathematics In Constructivism Learning Theory?

In general, learning based on constructivist learning theory involves four stages: (1) stage of perception (reveal preconceptions and generate motivation to study), (2) phase of exploration, (3) stages of discussion and explanation of concepts, and (4) stages of development and concept application (Horsley, 1990: 59).
In line with the above view, Tobin and Timon (in Lalik, 1997: 19) says that learning with constructivist learning theory includes four activities, among others (1) related to prior knowledge of students, (2) contains the actual experience activities (experiences), (3) social interaction (social interaction) and (4) establishment of sensitivity to the environment (sense making).
Instructions on learning with constructivist learning theory also advanced by Dahar (1989: 160), as follows: (1) prepare real objects to be used by students, (2) choose an appropriate approach to the level of child development, (3) introduce appropriate activities and interesting and give the child the freedom to reject the advice of teachers, (4) emphasize the creation of questions and problems and solutions, (5) encourage students to interact with each other, (6) avoid technical terms and emphasize thinking, (7) recommend them thinking in his own way, and (8) to introduce the material and the same activity after a few years.
Some of the details above may give to the teacher's view that in applying the constructivist learning principles, really need to consider environmental conditions for children. In addition, the notion of children's readiness to learn, also should not be ignored. In other words, that environmental factors as a means of interaction for children, not the only one who needs to get attention really to the teacher.
Yager (1991: 55) proposed a more complete phasing in learning with constructivist learning theory. This can be a guide in learning in general, learning in the Natural Sciences and Mathematics learning. Coverage is based on the tasks that teachers do not teach religious education and sport is a classroom teacher.
The first stage, students are encouraged to express knowledge about concepts that initially will be discussed. If necessary, teachers fishing with problematic questions about the phenomenon that is often encountered daily by the students and relate it to concepts that will be discussed. Furthermore, students are given the opportunity to communicate and mengillustrasikan understanding of the concept.
The second stage, students are given the opportunity to investigate and find the concepts through collecting, organizing, and interpreting data in an activity that has been designed by the teacher. Overall at this stage will be fulfilled students' curiosity about phenomena in the environment.
The third stage, students thinking about explanations and solutions based on observations of students, coupled with the strengthening of teachers. Next, students develop new understandings of the concept being studied.
The fourth stage, the teacher tried to create a climate of learning that allows students to apply conceptual understanding, either through activities or through the appearance of problems related to issues in the student environment

DIFUSI INOVASI

Pendahuluan
Dalam wacana ilmu komunikasi, ada teori yang dinamakan Diffusion of Innovasion yang dikemukakan oleh Everett M. Rogers (1983). Teori ini membahas mengenai bagaimana sebuah inovasi baru dapat di adopsi oleh masyarakat. Masyarakat penerima inovasi tersebut oleh Rogers dinamakan sebagai adopter (pengadopsi).
Innovation Decision Process menyatakan bahwa difusi adalah sebuah proses yang terjadi yang memerlukan waktu dan dapat diamati karena ,mempunyai lima tahap yang berbeda. Tahapan-tahapan yang terjadi dalam proses difusi tersebut terdiri knowledge, persuasion, decision, Implementation, dan confirmation. Sesuai dengan teori ini, para adopter inovasi harus belajar tentang inovasi, harus diyakinkan tentang manfaat dari inovasi tersebut, memutuskan untuk mengadopsi, menggunakan inovasi tersebut , dan
Proses Inovasi berkaitan dengan bagaimana suatu inovasi itu terjadi, di sini ada unsure keputusan yang mendasarinya, oleh karena itu proses inovasi dapat dimaknai sebagai proses keputusan Inovasi (Innovation decision Process). Menurut Everett M Rogers proses keputusan inovasi adalah the process through which abn individual (or other decision making unit) passes from first knowledge of an innovation,to forming an attitude toward the innovation, to a decision to adopt or reject, to implementation of the new ide, and to confirmation of this decision
Prinsip-prinsip Komunikasi dalam proses inovasi
1. Mass media lebih penting/efektif pada tahap Knowledge
2. Komunikasi interpersonal lebih penting/efektif pada tahap Persuasion
3. Mass media lebih penting/efektif untuk adopter pemula
DEFINISI DIFUSI INOVASI
Dalam bukunya yang berjudul Diffusion of Innovation, Everett Rogers menyatakan difusi sebagai proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran-saluran tertentu pada sistem sosial dan dan komunikasi ini memerlukan waktu. Menurut definisi Rogers ini ada empat jenis elemen dalam difusi proses inovasi, yaitu :
1. Innovation ( Inovasi), yaitu ide, praktek, atau benda yang dianggap baru oleh individu atau kelompak.
2. Communication channel ( saluran komunikasi ), yaitu bagaimana pesan itu didapat dari suatu individu pada individu lainnya.
3. Time ( waktu ), ada tiga faktor waktu, yaitu :
• Innovation decision process ( proses keputusan inovasi )
• Relative time which an inovation is adopted by individual or group. ( waktu relatif yang mana sebuah inovasi dipakai oleh individu atau kelompok )
• Innovation’s rate of adoption ( tingkat pemakaian inovasi )
4. Social System ( sistem sosial ), yaitu serangkaian bagian yang saling berhubungan dan bertujuan untuk mencapai tujuan umum.
Rogers menggambarkan The Innovation Decision Process ( proses keputusan inovasi) sebagai kegiatan pencarian dan memproses informasi di mana suatu individu termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian tentang keuntungan dan kerugian dari suatu inovasi.
Bagi Rogers proses keputusan inovasi memiliki lima tahap, yaitu :
• knowledge (pengetahuan)
• persuasion (kepercayaan)
• decision (keputusan)
• implementation, dan (penerapan)
• confirmation (penegasan/pengesahan)
Knowledge Stage/tahap pengetahuan
Proses keputusan inovasi ini dimulai dengan Knowledge Stage. Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa ?, bagaimana ?, dan mengapa ? merupakan pertanyaan yang sangat penting pada knowledge stage ini. Selama tahap ini suatu individu akan menetapkan “ Apa inovasi itu ? bagaimana dan mengapa ia bekerja ?. Menurut Rogers, pertanyaan ini akan membentuk tiga jenis pengetahuan (knowledge):
1. Awareness-knowledge
2. how-to-knowledge
3. principles-knowledge
• Awareness-knowledge merupakan pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu untuk belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan menggunakannya.
• How-to-knowledge merupakan pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang pengetahuan jenis ini sangat penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki pengetahuan ini dengan memadai berkenaan dengan percobaan penggunaan inovasi ini.
• Principles-knowledge , yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat bekerja. Contoh dalam hal ini adalah ide tentang teori kuman, yang mendasari penggunaan vaksinasi dan kakus untuk sanitasi perkampungan dan kampanye kesehatan.
Suatu inovasi dapat diterapkan tanpa pengetahuan ini, akan tetapi penyalahgunaan suatu inovasi akan mengakibatkan berhentinya inovasi tersebut.

Lalu apakah peranan para agen perubahan dalam menghasilkan ketiga jenis pengetahuan tersebut ? Kebanyakan agen perubahan tampaknya memusatkan perhatian pada usaha untuk menciptakan awareness-knowledge yang sebenarnya untuk tujuan ini akan lebih efisien dengan menggunakan jalur media masa. Para agen perubahan mungkin akan memainkan peranan penting pada proses keputusan inovasi ini apabila mereka berkonsentrasi pada how-to-knowledge, yang mungkin akan lebih penting bagi para klien terutama pada tahap trial and decision pada proses tersebut.

Early versus Late Knowers of Innovations
Tabel berikut menggambarkan tujuh karakteristik dari early knowers yang perlu dipertimbangkan
1 Earlier knowers of an innovation have more formal education than later knowers.
2 Earlier knowers of an innovation have higher socioeconomic status than late knowers.
3 Earlier knowers of an innovation have more exposure to mass media channels of communication
than later knowers.
4 Earlier knowers of an innovation have more exposure to interpersonal channels than later knowers.
5 Earlier knowers of an innovation have more change agent contact than later knowers.
6 Earlier knowers of an innovation have more social participation than later knowers.
7 Earlier knowers of an innovation have more cosmopolite than later knowers.

Persuasion Stage
Tahap Persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi , maka tahap ini berlangsung setelah knowledge stage dalam proses keputusan inovasi. Rogers menyatakan bahwa knowledge stage lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan persuasion stage bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidakyakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial akan mempengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi.

Decision Stage
Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Menurut Rogers adoption (menerima) berarti bahwa inovasi tersebut akan digunakan secara penuh, sedangkan menolak berarti “ not to adopt an innovation”. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses keputusan inovasi ini. Rogers menyatakan ada dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan passive rejection.
• Active rejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi dan berfikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak inovasi tersebut.
• passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berfikir untuk mengadopsi inovasi.

Implementation Stage ( Tahap implementasi)
Pada tahap implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidakpastiannya akan terlibat dalam difusi. Ketidakpastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan menjadi masalah pada tahapan ini. Maka si pengguna akan memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan inovasi ini akan berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius terjadi apabila yang mengadopsi inovasi itu adalah suatu organisasi, karena dalam sebuah inovasi jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan inovasi ini akan lebih banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda.
Akhir implementasi
Kapankah implementasi inovasi ini akan berakhir ?
Penemuan kembali biasanya terjadi pada tahap implementasi ini, maka tahap ini merupakan tahap yang sangat penting. Penemuan kembali ini adalah tingkatan di mana sebuah inovasi diubah atau dimodifikasi oleh pengguna dalam proses adopsi atau implementasinya. Rogers juga menjelaskan tentang perbedaan antara penemuan dan inovasi (invention dan Innovation). Invention adalah proses di mana ide-ide baru ditemukan atau diciptakan. Sedang inovasi adalah proses penggunaan ide yang sudah ada. Rogers juga menyatakan bahwa semakin banyak terjadi penemuan maka akan semakin cepat sebuah inovasi dilaksanakan.

Confirmation Stage
Ketika Keputusan inovasi sudah dibuat, maka si penguna akan mencari dukungan atas keputusannya ini . Menurut Rogers keputusan ini dapat menjadi terbalik apabila si pengguna ini menyatakan ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang inovasi tersebut. Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang memperkuat keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih krusial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu .
Ketidakberlanjutan dapat terjadi selama tahap ini dan terjadi pada dua cara. Pertama atas penolakan individu terhadap inovasi. Keputusan jenis ini dinamakan replacement discontinuance. Yang kedua dinamakan disenchanment discontinuance. Dalam hal ini individu menolak inovasi tersebut disebabkan ia merasa tidak puas atas hasil dari inovasi tersebut. Alasan lain dari discontinuance decision ini mungkin disebabkan inovasi tersebut tidak memenuhi kebutuhan individu. sehingga tidak merasa adanya keuntungan dari inovasi tersebut.
Kesimpulan
Proses keputusan inovasi adalah proses di mana individu atau kelompok melalui tahapan-tahapan sejak pengetahuan awal tentang suatu inovasi sampai dengan membuat keputusan untuk mengadopsi atau menolak inovasi tersebut.
Proses ini terdiri dari lima tahap, yaitu
1. knowledge
2. persuasion
3. decision
4. implementation, dan
5. confirmation

Apakah Difusi Inovasi itu?
Inovasi
Secara umum, inovasi didefinisikan sebagai suatu ide, praktek atau obyek yang dianggap sebagai sesuatu yang baru oleh seorang individu atau satu unit adopsi lain. Thompson dan Eveland (1967) mendefinisikan inovasi sama dengan teknologi, yaitu suatu desain yang digunakan untuk tindakan instrumental dalam rangka mengurangi ketidak teraturan suatu hubungan sebab akibat dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi, inovasi dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk mencapai tujuan tertentu.
Fullan (1996) menerangkan bahwa tahun 1960-an adalah era dimana banyak inovasi-inovasi pendidikan kontemporer diadopsi, seperti matematika, kimia dan fisika baru, mesin belajar (teaching machine), pendidikan terbuka, pembelajaran individu, pengajaran secara team (team teaching) dan termasuk dalam hal ini adalah sistem belajar mandiri.
Difusi
Difusi didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap anggota suatu sistem sosial. Difusi dapat dikatakan juga sebagai suatu tipe komunikasi khusus dimana pesannya adalah ide baru. Disamping itu, difusi juga dapat diangap sebaai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Jelas disini bahwa istilah difusi tidak terlepas dari kata inovasi. Karena tujuan utama proses difusi adalah diadopsinya suatu inovasi oleh anggota sistem sosial tertentu. Anggota sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi dan atau sub sistem.
Unsur-Unsur Difusi Inovasi
Proses difusi inovasi melibatkan empat unsur utama, meliputi 1) inovasi; 2) saluran komunikasi; 3) kurun waktu tertentu; dan 4) sistem sosial.
Komunikasi dan Salurannya
Komunikasi adalah proses dimana partisipan menciptakan dan berbagi informasi satu sama lain untuk mencapai suatu pemahaman bersama. Seperti telah diunkapkan sebelumnya bahwa difusi dapat dipandang sebagai suatu tipe komunikasi khusus dimana informasi yang dipertukarkannya adalah ide baru (inovasi). Dengan demikian, esensi dari proses difusi adalah pertukaran informasi dimana seorang individu mengkomunikasikan suatu ide baru ke seseorang atau beberapa orang lain. Rogers menyebutkan ada empat unsur dari proses komunikasi ini, meliputi: 1) inovasi itu sendiri; 2) seorang individu atau satu unit adopsi lain yang mempunyai pengetahuan atau pengalaman dalam menggunakan inovasi; 3) orang lain atau unit adopsi lain yang belum mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam menggunakan inovasi; dan 4) saluran komunikasi yang menghubungkan dua unit tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa komunikasi dalam proses difusi adalah upaya mempertukarkan ide baru (inovasi) oleh seseorang atau unit tertentu yang telah mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam menggunakan inovasi tersebut (innovator) kepada seseorang atau unit lain yang belum memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai inovasi itu (potential adopter) melalui saluran komunikasi tertentu.
Sementara itu, saluran komunikasi tersebut dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: 1) saluran media massa (mass media channel); dan 2) saluran antarpribadi (interpersonal channel). Media massa dapat berupa radio, televisi, surat kabar, dan lain-lain. Kelebihan media massa adalah dapat menjangkau audiens yang banyak dengan cepat dari satu sumber. Sedangkan saluran antarpribadi melibatkan upaya pertukaran informasi tatap muka antara dua atau lebih individu.
Waktu
Waktu merupakan salah satu unsur penting dalam proses difusi. Dimensi waktu, dalam proses difusi, berpengaruh dalam hal: 1) proses keputusan inovasi, yaitu tahapan proses sejak seseorang menerima informasi pertama sampai ia menerima atau menolak inovasi; 2) keinovativan individu atau unit adopsi lain, yaitu kategori relatif tipe adopter (adopter awal atau akhir); dan 3) rata-rata adopsi dalam suatu sistem, yaitu seberapa banyak jumlah anggota suatu sistem mengadopsi suatu inovasi dalam periode waktu tertentu.
Sistem Sosial
Sangat penting untuk diingat bahwa proses difusi terjadi dalam suatu sistem sosial. Sistem sosial adalah satu set unit yang saling berhubungan yang tergabung dalam suatu upaya pemecahan masalah bersama untuk mencapai suatu tujuan. Anggota dari suatu sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi dan atau sub sistem. Proses difusi dalam kaitannya dengan sistem sosial ini dipengaruhi oleh struktur sosial, norma sosial, peran pemimpin dan agen perubahan, tipe keputusan inovasi dan konsekuensi inovasi.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Inovasi
Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa tujuan utama proses difusi adalah agar diadopsinya suatu inovasi. Namun demikian, seperti terlihat dalam model proses keputusan inovasi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses keputusan inovasi tersebut. Beriku ini adalah penjelasan dari beberapa faktor yang mempengaruhi proses keputusan inovasi.
Karakteristik Inovasi
Rogers (1983) mengemukakan lima karakteristik inovasi meliputi: 1) keunggulan relatif (relative advantage), 2) kompatibilitas (compatibility), 3) kerumitan (complexity), 4) kemampuan diuji cobakan (trialability) dan 5) kemampuan diamati (observability).
Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik/unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi, seperti segi eknomi, prestise social, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi.
Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible).
Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi.
Kemampuan untuk diuji cobakan adalah derajat dimana suatu inovasi dapat diuji-coba batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat di uji-cobakan dalam seting sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat dengan cepat diadopsi, suatu inovasi sebaiknya harus mampu menunjukan (mendemonstrasikan) keunggulannya.
Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu inovasi, semakin besar kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut mengadopsi. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif; kesesuaian (compatibility); kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi.
Saluran Komunikasi
Tujuan komunikasi adalah tercapainya suatu pemahaman bersama (mutual understanding) antara dua atau lebih partisipan komunikasi terhadap suatu pesan (dalam hal ini adalah ide baru) melalui saluran komunikasi tertentu. Dengan demikian diadopsinya suatu ide baru (inovasi) dipengaruhi oleh: 1) partisipan komunikasi dan 2) saluran komunikasi.
Dari sisi partisipan komunikasi, Rogers mengungkapkan bahwa derajat kesamaan atribut (seperti kepercayaan, pendidikan, status sosial, dan lain-lain) antara individu yang berinteraksi (partisipan) berpengaruh terhadap proses difusi. Semakin besar derajat kesamaan atribut partisipan komunikasi (homophily), semakin efektif komuniksi terjadi. Beitu pula sebaliknya. Semakin besar derajat perbedaan atribut partisipan (heterophily), semakin tidak efektif komunikasi terjadi. Oleh karenanya, dalam proses difusi inovasi, penting sekali untuk memahami betul karakteristik adopter potensialnya untuk memperkecil “heterophily”.
Sementara itu, saluran komunikasi juga perlu diperhatikan. Dalam tahap-tahap tertentu dari proses pengambilan keputusan inovasi, suatu jenis saluran komunikasi tertentu memainkan peranan lebih penting dibandingkan dengan jenis saluran komunikasi lain. Hasil penelitian berkaitan dengan saluran komunikasi menunjukan beberapa prinsip sebagai berikut: 1) saluran komunikasi masa relatif lebih penting pada tahap pengetahuan dan saluran antar pribadi (interpersonal) relatif lebih penting pada tahap persuasi; 2) saluran kosmopolit lebih penting pada tahap penetahuan dan saluran lokal relatif lebih penting pada tahap persuasi.3) saluran media masa relatif lebih penting dibandingkan dengan saluran antar pribadi bagi adopter awal (early adopter) dibandingkan dengan adopter akhir (late adopter); dan 4) saluran kosmopolit relatif lebih penting dibandingkan denan saluran local bagi bagi adopter awal (early adopter) dibandingkan dengan adopter akhir (late adopter).
Karakteristik Sistem Sosial
Difusi inovasi terjadi dalam suatu sistem sosial. Dalam suatu sistem sosial terdapat struktur sosial, individu atau kelompok individu, dan norma-norma tertentu. Berkaitan dengan hal ini, Rogers (1983) menyebutkan adanya empat faktor yang mempengaruhi proses keputusan inovasi. Keempat faktor tersebut adalah: 1) struktur sosial (social structure); 2) norma sistem (system norms); 3) pemimpin opini (opinion leaders); dan 4) agen perubah (change agent).
Struktur social adalah susunan suatu unit sistem yang memiliki pola tertentu. Struktur ini memberikan suatu keteraturan dan stabilitas prilaku setiap individu (unit) dalam suatu sistem sosial tertentu. Struktur sosial juga menunjukan hubungan antar anggota dari sistem sosial. Hal ini dapat dicontohkan seperti terlihat pada struktur oranisasi suatu perusahaan atau struktur sosial masyarakat suku tertentu. Struktur sosial dapat memfasilitasi atau menghambat difusi inovasi dalam suatu sistem. Katz (1961) seperti dikutip oleh Rogers menyatakan bahwa sangatlah bodoh mendifusikan suatu inovasi tanpa mengetahui struktur sosial dari adopter potensialnya, sama halnya dengan meneliti sirkulasi darah tanpa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang struktur pembuluh nadi dan arteri. Penelitian yang dilakukan oleh Rogers dan Kincaid (1981) di Korea menunjukan bahwa adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh karakteristik individu itu sendiri dan juga sistem social dimana individu tersebut berada.
Norma adalah suatu pola prilaku yang dapat diterima oleh semua anggota sistem social yang berfungsi sebagai panduan atau standar bagi semua anggota sistem social. Sistem norma juga dapat menjadi faktor penghambat untuk menerima suatu ide baru. Hal ini sangat berhubungan dengan derajat kesesuaian (compatibility) inovasi denan nilai atau kepercayaan masyarakat dalam suatu sistem sosial. Jadi, derajat ketidak sesuaian suatu inovasi dengan kepercayaan atau nilai-nilai yang dianut oleh individu (sekelompok masyarakat) dalam suatu sistem social berpengaruh terhadap penerimaan suatu inovasi tersebut.
“Opinion Leaders” dapat dikatakan sebagai orang-orang berpengaruh, yaitu orang-orang tertentu yang mampu mempengaruhi sikap orang lain secara informal dalam suatu sistem sosial. Dalam kenyataannya, orang berpengaruh ini dapat menjadi pendukung inovasi atau sebaliknya, menjadi penentang. Ia (mereka) berperan sebagai model dimana prilakunya (baik mendukung atau menentan) diikuti oleh para penikutnya. Jadi, jelas disini bahwa orang berpengaruh (opinion leaders) memainkan peran dalam proses keputusan inovasi.
Agen perubah, adalah bentuk lain dari orang berpengaruh. Mereka sama-sama orang yang mampu mempengaruhi sikap orang lain untuk menerima suatu inovasi. Tapi, agen perubah lebih bersifat formal yang ditugaskan oleh suatu agen tertentu untuk mempengaruhi kliennya. Agen perubah adalah orang-orang professional yang telah mendapatkan pendidikan dan pelatihan tertentu untuk mempengaruhi kliennya. Dengan demikian, kemampuan dan keterampilan agen perubah berperan besar terhadap diterima atau ditolaknya inovasi tertentu. Sebagai contoh, lemahnya pengetahuan tentang karakteristik strukstur sosial, norma dan orang kunci dalam suatu sistem social (misal: suatu institusi pendidikan), memungkinkan ditolaknya suatu inovasi walaupun secara ilmiah inovasi tersebut terbukti lebih unggul dibandingkan dengan apa yang sedang berjalan saat itu.
Referensi:
Rogers, Everett, M., “Diffussion of Innovation”, (Canada: The Free Press of Macmillan Publishing Co., 1983)
Plomp, Tjeerd & Donald P. Ely, “International Encyclopedia of Educational Technology”, (Cam-bridge, UK: Elsevier Science Ltd., 1996)

PENTINGNYA TEKNOLOGI INFORMASI

Teknologi informasi sangat mutlak di kembangkan dan dikuasai oleh setiap manusia demi majunya suatu bangsa, sesuai dengan prinsip yaitu “Bangkit mengikuti perkembangan zaman jika tidak mau mati tergilas olehnya”. Hal tersebut sejalan pula dengan Tujuan Pendidikan Nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian serta memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa
Penguasaan Ilmu Pengetahuan Teknologi ( IPTEK ) wajib di terapkan di dunia pendidikan, dengan penerapan IPTEK yang canggih di dunia pendidikan maka akan tercipta manusia berkualitas. Dengan demikian pendidikan merupakan dasar dalam membangun manusia yang berwawasan dan intelektual tinggi yang mampu mengangkat pembangunan bangsa.
Kita di harapkan dapat dan mampu lebih aktif serta leluasa dalam berinovasi serta berkreasi dalam teknologi informasi.
Dalam era globalisasi sekarang ini kebutuhan akan penguasaan teknologi informatika dan komputer sebagai salah satu repleksi dari kemajuan teknologi mutlak diperlukan, karena tak ada satu titik pun di dunia sekarang ini yang tidak tersentuh oleh komputer.
Sebagaimana kita maklumi bersama Teknologi Informasi berkembang dengan pesat seiring dengan penemuan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dalam bidang Informasi dan Komunikasi sehingga mampu menciptakan alat-alat yang mendukung perkembangan Teknologi Informasi, mulai dari sistem komunikasi dengan menggunakan alat komunikasi yang searah maupun dua arah (interaktif). Setiap mesin yang mampu menerima data, memproses data, menyimpan data, dan menghasilkan bentuk keluaran berupa teks, gambar, simbol, angka dan suara dapat dikategorikan sebagai komputer. Dalam pengoperasian, bentuk, sistem dan fungsinya komputer dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hardware dan software. Tetapi semua itu harus ditunjang oleh brainware (pemakai) computer yang handal.
Sumber Daya Manusia Indonesia sebagai bagian dari komunitas global secara umum ditengarai masih sangat diragukan keandalannya di dalam menapaki persaingan pasar global tenaga kerja, apalagi diperkuat dengan hasil survey yang menempatkan SDM Indonesia diperingkat paling bontot. Salah satu faktor penyebab lemahnya SDM Indonesia adalah masih “gaptek”(gagap teknologi) sehingga link and match antara tuntutan lapangan kerja dengan Skill SDM sulit diwujudkan yang pada akhirnya menyebabkan semakin membengkaknya angka pengangguran.
Padahal di saat yang bersamaan bangsa Indonesia kini harus bersiap-siap untuk memasuki era perdagangan bebas. Dalam era perdagangan bebas, akan terjadi pergerakan tenaga kerja secara bebas (free movement of people) antar negara. Saat ini dalam WTO (World Trade Organization) telah diatur 40 profesi yang akan bebas terbuka untuk semua negara. Beberapa jenis profesi dikelompokkan dalam 6 kelompok profesi yang meliputi: pengacara, akuntan, profesional services, personal computer services, tourism services, dan medicine services.
Pada tahun 2020, seluruh standard profesi diharapkan sudah dapat diterapkan. Kompetisi akan terbuka di seluruh dunia. Dengan adanya kenyataan ini, siap atau tidak siap kita harus bersaing dengan sumber daya manusia dari seluruh dunia. Dalam waktu dekat sekitar 40 standard profesi di Indonesia, di antaranya di bidang Teknologi Informasi akan dikembangkan.
OLEH KARENA ITU GALI TERUS DAN KEMBANGKAN TEKNOLOGI INFORMASI INDONESIA...!!!!

INOVASI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

INOVASI
PEMBELAJARAN MATEMATIKA

1. Pendekatan Matematika Realistik
Pendekatan Matematika Realistik adalah pendekatan pembelajaran dalam matematika berdasarkan pada Realistic Mathematics Education (RME), yang pertama kali dikembangkan di negeri Belanda pada tahun 70-an oleh Freundenthal. Pada RME pembelajaran matematika bisa bermakna bila dikaitkan dengan kenyataan (realita)dalam kehidupan di masyarakat yang di alami siswa. Selain sebagai suatu proses aktivitas, tidak hanya sebagai suatu produk yang dijadikan bahan ajar. Sementara ini guru memandang matematika hanya sebagai hasil buah pikir manusia pendahulu, kemudian diajarkan kembali kepada manusia lain generasi berikutnya untuk dipelajari dan dimanfaatkan. Guru melaksanakan pengajaran matematika hanya sebagai produk dan bukan matematika sebagai proses.
Freundenthal mengemukakan bahwa pembelajaran matematika seyogyanya dilakukan dengan sistem guided reinvention, kegiatan yang mendorong siswa untuk belajar menemukan konsep atau aturan, yaitu dengan memberikan kesempatan lebih banyak kepada siswa untuk mencoba proses matematisasi (proses of mathematization), tidak hanya diberitahukan. Proses matematisasi selanjutnya menurut Treffers (2000) ada dua tipe, yaitu horizontal dan vertikal. Pada tahap horizontal siswa akan sampai pada tahap mathematical tools,seperti fakta, konsep, prinsip, algoritma, dan aturan yang dapat berguna untuk menyelesaikan persoalan matematik. Pada tahap vertikal adalah proses reorganisasi matematik, misalnya menemukan keterkaitan antara beberapa konsep dan menerapkannya dalam pemecahan masalah. Tahap matematisasi horizontal adalah proses dari dunia empirik menuju dunia rasio, sedangkan matematisasi vertikal adalah proses transformasi pada dunia rasio dalam pengembangan matematika secara abstrak.
Mulai tahun 1998 pendekatan RME ini mulai dikenal di Indonesia dengan ditandai adanya pengiriman personal ke negeri Belanda, berupa studi banding maupun studi lanjut.
Untuk mengidentifikasi suatu pembelajaran menggunakan RME dapat dikenali dari prinsip-prinsip berikut ini:
a) Aktivitas
Sesuai dengan konsep RME bahwa matematika sebagai suatu aktivitas, maka pembelajaran matematika haruslah melalui doing, yaitu dengan memandang siswa sebagai subjek yang harus berpartisipasi aktif dalam mengembangkan mathematical tools sehingga lebih dihayati secara bermakna. Tidak sekali – kali memberitahukan konsep jadi sehingga siswa tinggal menerima dan menggunakannya.
b) Realitas
Tahap aplikasi akan menambah kebermaknaan belajar, demikian pula dalam pembelajaran matematika hasil belajar semestinya diaplikasikan pada kehidupan nyata dalam menghadapi permasalahan. Dalam RME prinsip realitas tidak hanya dikembangkan pada akhir pembelajaran melainkan dipandang sebagai titik tolak belajar siswa sebagai sumber.


c) Tahap Pemahaman
Proses pembelajaran matematika melalui berbagai tahapan, mulai dari pengembangan kemampuan menemukan selesaian secara informal dalam suatu konteks, menemukan konsep atau prinsip, menemukan aturan, sampai pada menemukan keterkaitan. Model – model aktivitas siswa dalam pembelajaran akan merefleksikan pengalaman pada tahap sebelumnya berlanjut pada tahap berikutnya, dari tahap informal menuju pada tahap formal.
d) Inter Twinmen
Prinsip ini tidak memandang materi matematika terpisah-pisah, akan tetapi selalu simultan bersamaan antar konsep yang relevan secara terpadu. Dalam suatu kegiatan pembelajaran siswa dapat memahami fakta, konsep, prinsip, maupun aturan secara terpadu, begitu pula dalam penerapannya selalu berkaitan.
e) Interaksi
Prinsip interaksi berarti bahwa pembelajaran dipandang sebagai suatu aktivitas sosial, dimana setiap siswa diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan sesama mereka. Hal ini akan bermanfaat untuk meningkatkan strategi yang telah ditemukan dirinya, sehingga memungkinkan adanya refleksi dan akan memacu motivasi untuk menimba pengalaman lebih lanjut dan lebih berkualitas.
f) Bimbingan
Dalam menemukan kembali konsep matematika yang dilakukan oleh siswa, guru berperan sebagai pembimbing sehingga proses penemuan tersebut bisa berjalan efesien dalam proses dan efektif dan hasil yang dicapai.

Contoh pembelajaran dengan pendekatan realistik adalah sebagai berikut :
Misalkan siswa SD telah memahami konsep penjumlahan, pengurangan, dan perkalian. Guru memberikan pembelajaran tentang pembagian seperti berikut ini. Pada waktu arisan ibu-ibu datang 42 orang dan setiap 5 orang berkumpul berkeliling pada suatu meja. Kepada semua tamu itu akan dihidangkan teh manis dari teko, setiap teko cukup untuk 6 gelas. Berapa meja yang diperlukan dan berapa teko yang diperlukan?
Proses pembelajaran dilakukan dengan tahapan apresepsi, pengarahan, pengelompokan, diskusi kelompok (guru membimbing dengan teknik probing), dan diskusi kelas (guru moderator). Pada akhir kegiatan guru membimbing siswa secara klasikal untuk menyimpulkan hasil diskusi dan mengumpulkan kertas kerja siswa hasil diskusi.

2. Pendekatan Open Ended
Pendekatan open ended dalam pembelajaran matematika mulai dikenalkan di Jepang pada tahun 1971 oleh para ahli pendidikan matematika negara tersebut. Semula pendekatan ini berkaitan dengan metode evaluasi untuk mengukur keterampilan kognitif tingkat tinggi. Karena hasil penelitian menunjukan bahwa permasalahan open ended mengandung potensi cukup besar untuk meningkatkan kualitas hasil pembelajaran matematika, selanjutnya dilakukan sintesis dan diterapkan dalam pelaksanaan pembelajaran matematika.
Jika dalam pembelajaran matematika tradisional, dalam buku sumber maupun guru, seringkali terbiasa menyajikan persoalan matematika yang jawabannya pasti dan tunggal (konvergen), dalam open ended persoalan matematika diformulasikan dengan kemungkinan jawaban benar yang bervariasi (divergen).
Dengan demikian untuk menghadapi persoalan open ended siswa dituntut untuk mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh jawaban yang benar. Pada sisi yang lain, siswa tidak hanya diminta jawaban, akan tetapi diminta untuk menjelaskan bagaimana proses mencapai jawaban tersebut. Jadi matematika tidak dipandang sebagai produk semata tapi juga sebagai proses.
Contoh permasalahan yang dikemukakan secara tradisional adalah, suatu balok dengan ukuran tertentu berisi air setengahnya, kemudian tentukan volumenya.Tampak bahwa jawabannya tunggal dan seakan-akan persoalan yang rutin dari tahun ke tahun.Pada permasalahan open ended, persoalan bisa diubah begini; suatu balok transparan dengan ukuran tertentu kemudian diisi air dengan ketinggian tertentu.Jika balok itu dimiringkan berubah-ubah dengan satu rusuk pada meja (horizontal), tentukan bentuk-bentuk bangun yang terjadi oleh air dalam balok itu, tentukan ukuran rusuk-rusuknya, luas sisi-sisinya, dan volumenya.Setelah percobaan diatas selesai dengan tuntas, kemudian ubahlah cara memiringkan balok tersebut.
Percobaan tersebut akan memacu siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi secara kritis.Pengalaman yang dilaksanakan dalam penelitian tentang open ended diatas ternyata selama proses pembelajaran, siswa menunjukan sifat positif, antusias belajar siswa tinggi, perasaan tertantang munsul dengan sendirinya, dan jawaban siswa sangat bervariasi.
Dari uraian diatas, tentunya penerapan open ended disekolah secara nyata ada keunggulan dan kelemahan (kendala)nya.Silakan anda identifikasi kedua hal tersebut sebagai terapan langsung dari konsep open ended yang sedang kita bicarakan.Selanjutnya silakan perhatikan penyajian materi atau soal dalam buku sumber siswa di sekolah, ubahlah permasalahan yang anda temui sehingga merupakan permasalahan open ended.
Secara umum terdapat tiga tipe masalah yang dapat dikembangkan dalam ope ended ,yaitu (1) mencari hubungan antara fakta, membuat klasifikasi berdasarkan karakteristik tertentu, dsn pengukuran.Cara mengembangkan rencana pembelajaran dengan pendekatan open ended ikutilah langkah-langkah berikut ini (1) carilah masalah yang kaya secara matematik, (2) kembangkan permasalahan sesuai dengan kemampuan berpikir siswa, (3) kaitkan permasalahan tersebut dengan materi selanjutnya.Langkah-langkah dalam proses pembelajarannya adalah : (1) menyajikan masalah, (2) mengorganisasikan pembelajaran, (3) memperhatikan dan mencatat respon siswa,dan (4) menyimpulkan.Dalam melaksanakan evaluasi perhatikan aspek fluency (banyak solusi), flexibility (variasi ide siswa), dan originality (kemurnian solusi dan temuan siswa).

3. Pendekatan Kontekstual
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk menerapkan pemahamannya dalam berbagai variasi konteks.siswa membuat kaitan dengan peran dan tanggung jawab mereka pada diri sendiri atau lingkungannya, sehingga pendekatan kontekstual memberikan penekanan pada penggunaan kognitif tingkat tinggi, yaitu meliputi transfer pengetahuan, pengumpulan, analisis, dan sintesis. Dalam proses evaluasi,pendekatan kontekstual lebih menekankan pada penilaian otentik yang diperoleh dari berbagai aspek seluruh usaha siswa dan terpadu dalam kegiatan pembelajaran.

Ciri-ciri pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual adalah:
1) Belajar berbasis masalah (BBM)
Belajar berbasis masalah adalah pembelajaran yang dimulai dengan menghadapkan siswa pada msalah nyata atau masalah yang disimulasikan.Dengan dihadapkannya masalah aktual, diharapkan siswa menyadari bahwa masalah tersebut dapat dipandang dari berbagai perspektif dan untuk memecahkannya diperlukan pengintegrasian informasi dan berbagai disiplin ilmu.Untuk keperluan ini siswa dituntut untuk berfikir tingkat tinggi.
Pelaksanaan BBM dilaksanakan secara bertahap, yaitu:
a) Engagement,yang mencakup mempersiapkan siswa untuk berperan sebagai self directed problem solvers yang bisa bekerja sama dengan pihak yang lain, menghadapkan siswa pada situasi yang mendorong untuk mampu menemukan masalah ; dan meneliti hakekat permasalahan sambil mengajukan dugaan dan rencana penyelesaian.
b) Inquiri and investigation,yang mencakup kegiatan mengeksplorasi dan mendistribusikan informasi.
c) Ferformance, yaitu menyajikan temuan.
d) Debrifing, yaitu menguji keakuratan selesaian dan melakukan refleksi terhadap proses pemecahan masalah.

2) Belajar dengan multi konteks
Belajar dengan multi konteks dasar teorinya adalah psikologi kognitif, bahwa pembelajaran hendaknya dimulai dari pengkondisian konteks sosial-fisik.Belajar tidak terlepas dari konteks dan aktifitas yang terkait perkembangan pengetahuan.Seseorang yang belajar pengetahuan dan keterampilan dengan situasi pembelajaran merupakan suatu kesatuan yang utuh dalam proses pembelajaran.Dalam pembelajaran dengan multi konteks selalu terkait dengan situated cognition,authentic activites,distributid cognition dan communities of practice.hal ini ditandai dengan meteri pembelajaran selalu terkait erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan dn dinamika masyarakat, sehingga terapannya dalam kehidupan sehari-hari dapat secara tepat dimanfaatkan.

3) Self regulating learning (SRL)
SRL mempunyai tiga karakteristik, yaitu kesadaran berfikir, penggunaan strategi, dan pemeliharaan motivasi.Kesadaran berpikir adalah bahwa seseorang mempunyai peluang untuk mengembangkan diri dalam self observation, self evaluation, dan self reaction.Penggunaan strategi meliputi strategi untuk belajar, pengendalian diri, memelihara suasana hati, dan aspek psikis lainnya.Pemeliharaan motivasi adalah perhatian terhadap tujuan aktifitas, tingkat kesulitan dan manfaatnya, pertimbangan kemampuan diri, dan antisipasijika gagal atau berhasil.




4) Authentic assesment
Proses pendidikan semakin kompleks karena menyangkut berbagai aspek, diantaranya kemampuan dan kebutuhan siswa, lingkungan sosial, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tuntutan masyarakat. Untuk mengembangkan kemampuan dan potensi siswa diperlukan upaya optimal, diantaranya adalah dalam bidng evaluasi.Dalam pembelajaran dengan tepat adalah model authentic assesment, yaitu model evaluasi yang berorientasi pada proses yang pelaksanaanya terpadu dalam proses pembelajaran.Cara ini akan bisa mengevaluasi secara komprehensif karena menyangkut perkembangan individu secara mandiri atau kelompok yang sekaligus kelemahan yang ada dapat segera diperbaiki.

5) Learning comunity
Aktifitas pembelajaran kontekstual akan melibatkan kelompok sosial tertentu yang diistilahkan dengan learning comunity.Komunitas pembelajaranberperan penting dalam proses pembelajaran itu sendiri, karena didalamnya terjadi inetraksi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru secara optimal.Keuntungan yang diperoleh dalam interaksi ini adalah bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman, refleksi dalam diri individu maupun kelompok, dan peningkatan pemahaman diri dalam kelompok.

4. Pendekatan SAVI
Kegiatan pembelajaran akan berlangsung optimal jika aktifitas intelektual dan semua alat indra digabungkan dalam suatu kinerja pembelajaran.konsep pembelajaran seperti ini dinamakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan SAVI.Pendekatan SAVI (Somatik, Auditori, Visual, Intelektual) merupakan pendekatan yang melibatkan gerakan fisik, aktifitas intelektual, dan pemanfaatan semua panca indra.Pendekatan ini bermaksud untuk meningkatkan aktifitas siswa dalam kegiatan pembelajaran sehingga dapat meningkat pula hasil belajarnya.
Keempat unsur dalam pendekatan SAVI adalah:
a. Belajar somatik
Somatik berasal dari bahasa yunani yang berarti tubuh.Jadi belajar somatik adalah belajar melalui keterlibatan fisik, terutama indra peraba, selama pembelajaran berlangsung.Dalam belajar somatik siswa dapat melakukan sesuatu secara fisik dari wakktu ke waktu yang membuat semua tubbbuh terlibat, memperbaiki sirkulasi ke otak, dan meningkatkan pembelajaran.Jadi somatik adalah belajar bergerak dan berbuat.
b. Belajar auditori
Belajar auditori merupakan belajar dengan berbicara dan mendengarkan.Pikiran auditori lebih kuat daripada yang kita sadari.Kita membuat suara sendiriddengan berbicara maka beberapa areapenting pada otak kita menjadi aktif.Dalam merancang pembelajaran yang menarik bagi saluran auditori yang kuat dalam diri siswa, carilah cara untuk mengajak mereka membicarakan apa yang sedang mereka pelajari.
c. Belajar visual
Belajar visual merupakan belajar dengan mengamati dan menggambarkan.Visual mencakup melihat, menciptakan dan mengintegrasikan segala macam citra.Dalam otak lebih banyak perangkat untuk memproses informasi visual dari pada semua indra yang lain.Pada belajar belajar visual siswa belajar dengan melihat contoh pada dunia nyata, diagram, dan gambarandari segala macam hal ketika mereka sedang belajar.
d. Belajar Intelektual
Intelektual bagisn dari perenungan (tafakur), mencipta, memecahkan masalah, dan membangun makna.Kata intelektual menunjukkan apa yang dilakukan siswa dalam pikiran mereka secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan, makna, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut.Jadi belajar intelektual yaitu belajar dengan memecahkan masalah dan merenung.Belajar bisa maksimal jika keempat unsur SAVI ada dalam peristiwa pembelajaran.
Dalam pembelajaran pada pokok bahasan Persegi-panjang dan persegi dengan menerapkan pendekatan SAVI langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
Langkah I : Guru menerangkan materi persegi panjang dengan menggunakan metode ekspositori dan mempraktekannya dengan menggunakan alat gambar.Pada waktu menerangkan materi tersebut,siswa tidak hanya mendengarkan dan membuat catatan saja tetapi bila ada hal yang kurang jelas siwa bisa bertanya.Dalam langkah ini meliputi belajar visual dan auditori.
Langkah II : Setelah guru menjelaskan materi tersebut, guru memberikan contoh soal kemudian dipelajari oleh siswa sampai siswa mengerti.
Langkah III : Guru memberikan soal-soal kepada siswa untuk dikerjakan.
Langkah IV : Guru menyuruh siswa kedepan untuk mengerjakan soal-soal tersebut masing-masing satu soal.Dalam langkah ini meliputi belajar somatik dan belajar intelektual.
Langkah V : Setelah siswa selesai mengerjakan soal-soal tersebut, kemudian hasilnya didiskusikan bersama.
Dengan memperhatikan konsep belajar SAVI, siswa mempunyai kesempatan untuk berperan aktif dalam proses belajar mengajarsehingga dengan menggunakan pendekatan SAVI diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

5. Teknik Probing
Pengertian probing menurut arti bahasa adalah penyelidikan. Probing berupa pertanyaan yang bersifat menggali, merupakan pertanyaan berkelanjutan yang akan mendorong siswa untuk lebih mendalami jawaban terhadap pertanyaan sebelumnya. Pandangan lain mengemukakan bahwa probing adalah suatu teknik dalam pembelajaran dengan cara mengajukan satu seri pertanyaan untuk membimbing siswa menggunakan pengetahuan yang telah ada pada dirinya agar dapat membangun sendiri menjadi pengetahuan baru. Teknik probing adalah pembelajaran dengan cara mengajukan suatu rangkaian pertanyaan kepada siswa. Apabila siswa mengalami kebuntuan dalam menjawab, guru membimbing melalui pertanyaan – pertanyaan selanjutnya yang jawabannya dapat memberi petunjuk dan membantu untuk terlepas dari kebuntuan jawaban tadi. Dengan demikian dari pembelajaran dengan teknik probing diharapkan siswa dapat mengembangkan daya pikir.
Pembelajaran dengan menggunakan teknik probing di kelas terdapat dua aktivitas yang saling berhubungan, yaitu aktivitas siswa yang meliputi aktivitas berfikir dan aktivitas fisik yang berusaha membangun pengetahuannya, serta aktivitas guru yang berusaha membimbing siswa dengan menggunakan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan dapat dikategorikan mulai dari pertanyaan yang memerlukan pemikiran tingkat rendah sampai ke tingkat tinggi.
Pembelajaran matematika dengan menggunakan teknik probing langkah – langkanyan adalah sebagai berikut :

Langkah I
Guru menghadapkan siswa pada situasi baru, misalnya dengan memperhatikan gambar, rumus atau situasi lainnya yang mengandung permasalahan.
Langkah II
Guru mengajukan persoalan kepada siswa, yang sesuai dengan Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) dan Sub-TPK.
Langkah III
Guru menunjuk salah satu siswa untuk menjawab atau mengerjakannya, jika jawabannya relevan atau benar maka guru meminta tanggapan kepada siswa lain. Dan jika siswa tersebut mengalami kemacetan jawab, maka guru mengajukan pertanyaan – pertanyaan lain yang jawabannya merupakan petunjuk jalan penyelesaian jawaban tadi.
Langkah IV
Guru mengajukan soal ulang yang sejenis kepada siswa untuk mengecek apakah permasalahan sudah dikuasai oleh siswa yang lain atau belum.
Langkah V
Siswa bersama – sama guru membuat rangkuman dan kemudian guru memberikan Pekerjaan Rumah (PR).
Pola umum dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan teknik probing melalui tiga tahapan, yaitu sebagai berikut:
a) Kegiatan awal : guru menggali pengetahuan pra-syarat yang sudah dimiliki siswa dengan menggunakan teknik probing.Hal ini berfungsi untuk introduksi, revisi dan motivasi.
b) Kegiatan inti : Proses pembelajaran dengan menggunakan teknik probing, dimulai dari pengembangan dan penerapan-penerapan materi.
c) Kegiatan akhir : Membuat suatu rangkuman sebagai kesimpulan dari PBM dan diberikan PR untuk mengetahui keberhasilan siswa dalam belajarnya setelah selesai melakukan kegiatan inti.